Islam : Agamis Lawan dari Humoris?
Islam : Agamis Lawan dari Humoris?
Oleh: Fathi Syauqy Azzam | Sabtu, 23/10/2021 17:15 WIB
Sobat Jemmy pasti mengenal dong Coki Pardede dan Tretan Muslim. Ya, mereka berdua adalah dua nama public figure yang lahir dari sebuah acara kompetisi komedi tanah air beberapa tahun belakangan ini. Selain mereka, tentu ada ratusan komedian yang juga sukses menjadi influencer di bidangnya masing-masing dengan tetap menjaga branding komedi yang mengangkat nama mereka. Kita sebut saja Bintang Emon sebagai aktor dan selebgram, Dzawin dengan YouTube-nya, bahkan Ernest Prakarsa dengan film-film karyanya.
Jokes Tidak Menyinggung SARA
Tahukah sobat Jemmy, sejak awal mengikuti kompetisi, para komedian ini dituntut untuk selalu kritis dalam membuat berbagai jokes yang relevan dengan keadaan terkini, sehingga dapat dinikmati penonton dengan begitu segar. Kebanyakan jokes yang mereka bawa berasal dari keresahan pribadi atau kondisi sosial yang mereka lihat secara langsung.
Menurut penulis, berbagai hal dalam kontestasi tersebut wajar-wajar saja selama tidak menimbulkan masalah. Menghibur masyarakat dengan cara yang unik dan berbeda dibanding acara-acara hiburan yang telah ada merupakan salah satu sisi yang patut diapresiasi.
Namun entah sejak kapan, saya tidak tahu persisnya bagaimana, jokes ini kemudian menyentuh ranah-ranah yang sejatinya melenceng dari norma berkomedi. Karena dituntut untuk selalu kreatif, beberapa komedian “terpaksa” menciptakan humor-humor baru yang cenderung abai terhadap batasan-batasan yang berlaku seperti menyinggung SARA. Parahnya, jika ini sudah menyentuh ranah agama tertentu.
Islam dan Humor
Humor ada dalam Islam. Hampir tidak ada ulama yang kontra terhadap pernyataan ini. Sobat Jemmy dapat membaca kisah Nabi dan para sahabat yang sejatinya sudah cukup mewakili bahwa humor dan anekdot itu ada. Jika kita perhatikan dengan seksama, banyak sekali metode dakwah yang disampaikan oleh para asatidz, baik di perkotaan maupun pedesaan, tak lepas dari hal-hal yang menghibur dan membuat tertawa.
Sobat Jemmy mungkin bisa membayangkan bagaimana jika seorang guru mengajar tanpa humor dan ekspresi bahagia. Mungkinkah pelajaran akan mudah dipahami? Bukankah belajar akan lebih mudah apabila didesain sedemikian rupa menjadi suatu hal yang menyenangkan? Inilah yang kemudian diadopsi oleh para guru bahwa humor dapat menjadi salah satu metode pembelajaran paling efektif. Begitu pun dalam ajaran agama Islam.
Dalam sirah nabawi, terdapat beberapa riwayat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang juga bercanda. Dalam sebuah hadits, diceritakan bahwa Rasulullah pernah mencandai seorang nenek yang bertanya kepadanya tentang surga. Hadits berikut dibawakan oleh Imam Tirmidzi dalam Asy Syamail Muhammadiyah pada Bab “Sifat Candaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”
Contoh lainnya, dalam suatu riwayat, Ali Bin Abi Thalib hendak mencandai mertuanya sendiri yang tak lain adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika makan kurma bersama. Ia meletakkan sebagian biji-biji kurma dari sisa kurma yang dimakannya di samping Rasulullah agar seakan-akan biji-biji kurma itu merupakan sisa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Ya Rasul, aku tidak menyangka Rasul menyukai kurma, hingga begitu banyak memakannya,” ujar Ali Bin Abi Thalib. “Aku tidak selapar dan selahap kamu, Ali!” ujar Rasulullah, “Terbukti kamu memakan kurma dengan biji-bijinya hingga kurma-kurma yang engkau makan tak menyisakan biji-bijinya.”
Berkomedi sambil Berdakwah
Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, “Mengapa para ustadz boleh memasukkan canda dalam ‘konten’ dakwahnya, begitupun guru dalam materi yang diajarkannya, sedangkan para muridnya cenderung tidak dianjurkan?” Hal ini menjadi menarik lantaran sebagian orang menganggap ada diskriminasi bagi sebagian yang lainnya.
Mari kita kembali membayangkan sebuah analogi, yang bahkan masih menjadi sebuah realita sosial. Jika ada seorang asing menyebut kita sebagai “si bodoh”, apakah kita kemudian tersinggung? Sebagai manusia yang normal, seharusnya jawabannya adalah iya. Padahal jika kita mau berpikir rasional, hal tersebut bisa jadi sebuah fakta, bahwa setiap manusia punya kebodohan atau kelemahan dalam suatu bidang tertentu. Lantas mengapa kita tersinggung? Jawabannya adalah karena orang asing tersebut belum benar-benar mengenal kita, sehingga yang orang asing itu katakan tidak berdasar dan tidak memiliki landasan.
Begitupun dengan ajaran agama. Para asatidz perlu belajar banyak terlebih dahulu. Mereka menyadari bahwa hidup ini kompleks, sehingga harus memperhatikan berbagai aspek dan batasan dalam menyampaikan dakwahnya, terutama jika dikaitkan dengan komedi.
Batasan-batasan Humor
Etika bermasyarakat sejatinya sudah cukup menjelaskan batasan-batasan humor. Dalam ruang publik, ada unsur SARA, yang tidak boleh disentuh oleh ranah sensitif seperti politik dan komedi. Apalagi jika berbicara mengenai batasan dalam Islam, tentu lebih luas lagi maslahatnya. Islam tak hanya mengajarkan toleransi antar agama yang diimplementasikan dengan adanya larangan saling menghina, tetapi juga memberi batasan di dalam agama Islam itu sendiri, sehingga tidak saling menyakiti dan mencederai keyakinan masing-masing individu.
Berikut adab-adab bercanda dalam Islam yang perlu diperhatikan:
1. Jujur, menghindari dusta.
“Celakalah bagi yang berbicara lantas berdusta hanya karena ingin membuat suatu kaum tertawa. Celakalah dia, celakalah dia.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
2. Tidak berlebihan
“Janganlah banyak tertawa karena banyak tertawa dapat mematikan hati.” (Shahih Al Jami’ no. 7435, dari Abu Hurairah)
3. Tidak berkaitan dengan agama, tauhid, symbol-simbol, wahyu risalah (QS At-Taubah 65-66)
4. Tidak mengandung penghinaan, meremehkan dan merendahkan (QS Al-Hujurat 11)
5. Memperhatikan usia lawan bicara
6. Tidak menjadi tabiat
7. Tidak bergurau dalam urusan serius, dan tertawa dalam urusan sedih (QS An-Najm 59-61)
8. Tidak boleh menakut-nakuti atau mengancam orang lain (HR. Abu Daud)
Dark Jokes, Kesalahan Penggunaan
Sebagai salah satu genre dalam komedi, dark joke menjadi salah satu jokes yang paling sering digunakan di media sosial. Bagi para penggunanya, dark jokes dianggap sebagai perekat pertemanan paling efektif. Sayangnya, karena komedi ini selalu membutuhkan objek untuk ditertawakan, terkadang seorang atau beberapa teman akan dikorbankan untuk menjadi objeknya. Jika dilihat dampaknya secara berkelanjutan, hal ini justru berlawanan dengan tujuan komedi itu sendiri. Inilah yang kemudian menjadi salah satu penempatan dark jokes yang salah.
Namun, seiring waktu, dark joke kemudian berkembang mengorbankan agama sebagai objeknya. Pertanyaan-pertanyaan retoris yang mempermasalahkan berbagai aturan agama diluncurkan untuk memancing perhatian publik. Akibatnya, mayoritas penikmat komedi dark jokes ini bukan benar-benar ingin mencari tahu jawabannya, tetapi sekadar untuk membuat tertawa bahkan pada titik tertentu menganggap ajaran agama hanya lelucon belaka.
Mereka yang menganggap dark joke sebagai bagian dari keakraban berdalih bahwa kita hidup di negara demokrasi yang boleh menyampaikan apapun selama tidak menyinggung SARA dan tidak merugikan orang lain. Namun, nyatanya dark joke sudah menyinggung banyak orang dan bahkan menimbulkan perpecahan. Kondisi yang semakin kacau ini tidak lain disebabkan dark joke yang disampaikan tanpa ragu ke ruang publik dan meleset jauh dari dalih para pemakainya. Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa penggunaan dark joke memiliki dampak mudharat yang sangat besar.
Kesimpulan
Jika sobat Jemmy meyakini bahwa tingkat pemahaman agama seseorang berbanding lurus dengan hidup yang kaku dan tanpa humor, maka sobat Jemmy bisa membaca kembali sirah nabawi yang menceritakan kehidupan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang ternyata juga bercanda. Islam mendefinisikan bahwa humor memiliki manfaat luas namun juga memiliki mudharat yang tidak kalah luas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kita untuk tidak banyak tertawa, karena hal itu dapat mematikan hati yakni menjadikannya keras, sulit menerima nasehat.
Pada kesimpulan ini,penulis juga ingin menyampaikan bahwa hendaknya kita sebagai manusia sadar, setiap hal di dunia ini memiliki kekurangan masing-masing. Sebab kita semua adalah ciptaan. Maka, tak berhak bagi kita untuk menjadikan kekurangan itu sebagai lelucon, apalagi jika disampaikan di ruang publik. Ini akan mencederai misi kemanusiaan untuk menjaga keharmonisan dan kesejahteraan antarindividu yang beragam.
Berkata Imam Ibnu Hibban, “Humor yang terpuji adalah humor yang tidak mengandung perkara yang dibenci Allah subhanahu wa ta’ala, tidak mengandung dosa dan tidak memutus tali silaturahmi. Adapun humor yang tercela tak beretika adalah humor yang menyebabkan permusuhan, menghilangkan, kewibawaan, memutus persahabatan, menjerumuskan seseorang ke dalam perkara yang hina, dan menyebabkan orang baik menjadi dendam ingin membalasnya”.
Daftar Pustaka
At-Tirmidzi. Syaikh Al-Albani. Al-syamā’il al-Muḥammadīyah
Ramdhani, Khalid. Akhlaq Humor Dalam Islam, Universitas Singaperbangsa Karawang
Tuasikal, M.A. (2015). Berbohong dalam Candaan. Diakses pada 19 September 2021. Dari https://rumaysho.com/10672-berbohong-dalam-candaan.html
Saputra, Andrian (2020). Mengolok-olok dan Jadikan Siksa Neraka Candaan Bolehkah. https://www.republika.co.id/berita/qkv3uz320/mengolokolok-dan-jadikan-siksa-neraka-candaan-bolehkah