Dijaman yang semakin keras seperti sekarang semakin susah untuk menemui manusia yang perduli dengan sesamanya. Kita semakin disibukkan dengan urusan pribadi hingga seakan dunia hanya milik sendiri. Semua orang berlomba-lomba untuk memperkaya diri sendiri. Namun, kenyataan tidak membuktikan semua manusia terlahir dikeluarga kaya, tidak semua orang sadar akan pentingnya kerja keras. Dan yang pasti semua itu bukan jaminan bahwa hidup seseorang akan berkecukupan di masa mendatang. Seperti sering kita jumpai orang yang memang terlihat tidak mampu secara finansial terus berjuang melalui anaknya. Seakan paham betul apa yang akan terjadi ketika anak mereka melakukan kesalahan yang sama seperti mereka di masa lalu. Anak ini akan terus ditempa hingga mereka berhasil dengan penghidupan yang lebih layak. Mereka akan terus mendorongnya hingga hidup dirasa kemapanan dan cukup. Menjadi orang yang berkecukupan juga bukan jaminan mereka akan melahirkan generasi kaya di masa depan atau bisa dibilang semua ini adalah ujian.
Menurut Ustadz Abu Minhal, Lc pada website almanhaj.or.id
Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Rabbku telah memuliakanku”. Adapun bila Rabbnya (Allâh) mengujinya, lalu membatasi rezekinya (menjadikannya hidup dalam kekurangan), maka dia berkata: “Rabbku menghinakanku” .Sekali-kali tidak (demikian), …[al-Fajr/89:15-16]
Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Rabbku telah memuliakanku.”
Pada ayat ini, Allâh Azza wa Jalla mengingkari manusia yang memiliki keyakinan jika diberi keluasan rezeki itu pertanda penganugerahan kemuliaan dari Allâh bagi dirinya. Faktanya, tidak demikian adanya. Akan tetapi, merupakan ujian dan cobaan bagi mereka dari Allâh Azza wa Jalla, [3] dan menguak apakah ia bersabar atau berkeluh-kesah, apakah ia bersyukur atau mengingkari nikmat.
[4] Hal ini seperti firman Allâh Azza wa Jalla :
Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar [al-Mukminûn/23:55-56]
Sebaliknya pada ayat berikutnya:
Adapun bila Rabbnya (Allâh) mengujinya, lalu membatasi rezekinya (menjadikannya hidup dalam kekurangan), maka dia berkata: “Rabbku menghinakanku” Tatkala Allâh Azza wa Jalla menguji manusia dengan menyempitkan rezekinya, sebagian orang beranggapan hal tersebut merupakan bentuk kehinaan yang harus ia terima. Imam al-Qurthubi rahimahullah menegaskan salah satu sifat orang kafir, “Kemuliaan dan kehinaan pada pandangan orang kafir berdasarkan banyak sedikitnya kekayaan yang dimiliki seseorang”.[5]
Allâh Azza wa Jalla tidak pernah menjadikan kekayaan dan kekurangan yang meliputi kondisi
seseorang sebagai bentuk penilaian kemuliaan atau kerendahan derajatnya di sisi Allâh Azza wa
Jalla . Namun, itu semua merupakan ujian dan cobaan yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada umat manusia yang tidak lepas dari takdir dan qodho-Nya.
Perhatikan firman Allâh Azza wa Jalla berikut:
Katakanlah: “Sesungguhnya Rabbku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan
menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya), akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Saba/34:36]
wahai teman, dari penjelasan di atas sedikit bisa disimpulkan bahwa menjadi kaya bukanlah segalanya, karena kemuliaan diri kita dihadapan Allah SWT tidak dilihat dari seberapa banyak harta yang kita miliki dari pemberianNya melainkan dari ibadah kita.
Sumber :
Kekayaaan Bukan Tanda Kemuliaan, Kemiskinan Bukan Petunjuk Kehinaan