[HALAL ADALAH AKAR PRASYARAT DARI SEMUA KEBAJIKAN]

Dari segala cara kita menjemput rizqi, maka halal adalah akar prasyarat dari semua kebajikan. ‘Abdullah ibn ‘Umar ra berkata, “Demi Allah, memastikan halalnya satu suapan ke mulutku, lebih aku sukai daripada bershadaqah seribu dinar.” (Salim A. Fillah, dalam lapis – lapis keberkahan)

Akan datang kepada manusia suatu zaman (ketika itu) seorang tidak lagi peduli dengan apa yang dia dapatkan, apakah dari yang halal atau haram?!” (HR. Bukhari: 2059)

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” (QS. Al Baqarah: 173)

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Maa’idah: 3)

Bukan tanpa alasan babi itu diharamkan. Beberapa hal yang menjadi alasan babi diharapkan adalah sebagai berikut :

1. Babi adalah hewan yang memiliki tingkat kerakusan yang tinggi. Segala macam makanan dapat dimakan oleh babi termasuk kotoran manusia atau hewan. Bahkan makanan yang telah dimuntahkan babi akan dimakan kembali saat seekor babi tersebut merasa lapar.

2. Dari sisi medis babi setidaknya memiliki 25 bibit penyakit yang terkandung di dalam tubuhnya. Antara lain adalah antraks, rabies, bahkan influenza, dapat ditularkan dari seekor babi. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipublikasikan pada tahun 1986 dalam konferensi tahunan sedunia tentang penyakit alat pencernaan, daging babi dinyatakan sebagai penyebab utama kanker anus dan kanker usus besar. Persentase penyakit ini sangat tinggi di negara-negara eropa dan amerika. Sementara di negara-negara islam persentasenya sangat rendah sekali yaitu hampir 1 : 1000 kasus.

3. Di dalam tubuh babi tidak hanya terdapat satu jenis cacing, tetapi tujuh jenis cacing yang berbahaya bagi tubuh. Salah satunya adalah cacing pita. Cacing pita adalah cacing yang tumbuh dan berkembang dengan menempel di dinding-dinding usus lalu memakan makanan yang di makan oleh tubuh yang menjadi parasitnya. Cacing pita yang hinggap pada ubbuh manusia dapat menyebabkan seseorang kekurangan darah dan mengalami histeria.

4. Secara anatomi, babi tidak mempunyai leher. sehingga babi tidak dapat disembelih. sementara islam telah mengajarkan tata cara menyembelih hewan, yaitu dengan mengucapkan “bismillahirrohmanirrohim” dan memotong di bagian urat nadi lehernya. penyembelihan dilakukan agar tidak terdapat kerusakan pada organ vital hewan yg disembelih. yang dapat mengakibatkan daging hewan tersebut termerah oleh gumpalan darah yang terdapat pada urat dalam tubuhnya.

5. Babi juga menjadi pembawa virus flu burung dan flu babi yang amat berbbahaya bagi manusia. Virus H1N1 yang sebelumnya tidak berbahaya ternyata bermutasi di dalam tubuh babi dan menjadi virus H5N1 yang sangat mematikan bagi manusia.

Tak heran mengapa Allah yang maha mengetahui segalanya mengharamkan memakan babi bahkan mengkategorikan babi sebagai najis mugoladoh/ najis besar, dan harus membersihkan sampai 7 kali dan salah satunya menggunakan tanah saat kita menyentuh babi.

Allah SWT menetapkan aturan bagi manusia bukan tanpa alasan.

Pengharaman daging babi bagi manusia bertujuan agar manusia terhindar dari berbagai macam penyakit yang terkandung dalam seekor babi. Semoga kita semua diselamatkan dari keburukan hewan babi ini. Aamiin.

Sumber :
– Al-Qur’an
– Al-hadist
– islam channel 01
– https://muslim.or.id/461-babi-haram.html

Departemen Kajian Keislaman
JMME FEB UGM

KEKAYAAN BUKAN PERTANDA KEMULIAAN, KEKURANGAN BUKAN PERTANDA KEHINAAN

Dijaman yang semakin keras seperti sekarang semakin susah untuk menemui manusia yang perduli dengan sesamanya. Kita semakin disibukkan dengan urusan pribadi hingga seakan dunia hanya milik sendiri. Semua orang berlomba-lomba untuk memperkaya diri sendiri. Namun, kenyataan tidak membuktikan semua manusia terlahir dikeluarga kaya, tidak semua orang sadar akan pentingnya kerja keras. Dan yang pasti semua itu bukan jaminan bahwa hidup seseorang akan berkecukupan di masa mendatang. Seperti sering kita jumpai orang yang memang terlihat tidak mampu secara finansial terus berjuang melalui anaknya. Seakan paham betul apa yang akan terjadi ketika anak mereka melakukan kesalahan yang sama seperti mereka di masa lalu. Anak ini akan terus ditempa hingga mereka berhasil dengan penghidupan yang lebih layak. Mereka akan terus mendorongnya hingga hidup dirasa kemapanan dan cukup. Menjadi orang yang berkecukupan juga bukan jaminan mereka akan melahirkan generasi kaya di masa depan atau bisa dibilang semua ini adalah ujian.

Menurut Ustadz Abu Minhal, Lc pada website almanhaj.or.id
Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Rabbku telah memuliakanku”. Adapun bila Rabbnya (Allâh) mengujinya, lalu membatasi rezekinya (menjadikannya hidup dalam kekurangan), maka dia berkata: “Rabbku menghinakanku” .Sekali-kali tidak (demikian), …[al-Fajr/89:15-16]

Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Rabbku telah memuliakanku.”

Pada ayat ini, Allâh Azza wa Jalla mengingkari manusia yang memiliki keyakinan jika diberi keluasan rezeki itu pertanda penganugerahan kemuliaan dari Allâh bagi dirinya. Faktanya, tidak demikian adanya. Akan tetapi, merupakan ujian dan cobaan bagi mereka dari Allâh Azza wa Jalla, [3] dan menguak apakah ia bersabar atau berkeluh-kesah, apakah ia bersyukur atau mengingkari nikmat.

[4] Hal ini seperti firman Allâh Azza wa Jalla :

Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar [al-Mukminûn/23:55-56]

Sebaliknya pada ayat berikutnya:

Adapun bila Rabbnya (Allâh) mengujinya, lalu membatasi rezekinya (menjadikannya hidup dalam kekurangan), maka dia berkata: “Rabbku menghinakanku” Tatkala Allâh Azza wa Jalla menguji manusia dengan menyempitkan rezekinya, sebagian orang beranggapan hal tersebut merupakan bentuk kehinaan yang harus ia terima. Imam al-Qurthubi rahimahullah menegaskan salah satu sifat orang kafir, “Kemuliaan dan kehinaan pada pandangan orang kafir berdasarkan banyak sedikitnya kekayaan yang dimiliki seseorang”.[5]
Allâh Azza wa Jalla tidak pernah menjadikan kekayaan dan kekurangan yang meliputi kondisi
seseorang sebagai bentuk penilaian kemuliaan atau kerendahan derajatnya di sisi Allâh Azza wa
Jalla . Namun, itu semua merupakan ujian dan cobaan yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada umat manusia yang tidak lepas dari takdir dan qodho-Nya.

Perhatikan firman Allâh Azza wa Jalla berikut:

Katakanlah: “Sesungguhnya Rabbku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan
menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya), akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Saba/34:36]
wahai teman, dari penjelasan di atas sedikit bisa disimpulkan bahwa menjadi kaya bukanlah segalanya, karena kemuliaan diri kita dihadapan Allah SWT tidak dilihat dari seberapa banyak harta yang kita miliki dari pemberianNya melainkan dari ibadah kita.

Sumber :

Kekayaaan Bukan Tanda Kemuliaan, Kemiskinan Bukan Petunjuk Kehinaan